Awan kumulus dengan bentuknya yang khas terlukis rapi di atas kaki-kaki
langit dengan warna biru cerahnya yang menenangkan. berpadu dengan
serat-serat kuning emas yang terpancar dari si penguasa siang yang
selalu pongah. keangkuhannya menembus tiap kaca-kaca bening bangunan
bernuansa cream-cokelat yang perlahan-lahan dipenuh oleh anak-anak
berseragam putih-abu. SMA Albider menunjukan kemewahannya.
Dan di ruangan paling timur, ruangan yang masih kosong. Tepat di bangku
paling pojok, seorang siswi berkacamata begitu asyik menikmati suasana
sepi di ruangan itu. serat-serat cahaya matahri menyorot sebuah buku
bergaris dengan tulisan tangan yang rapi yang menjadi tema si gadis saat
itu. ia begitu sibuk dengan buku dan penanya. tak peduli seberapa sunyi
ruangan itu. Acuh tak acuh dengan sayup-sayup suara siswa-siswa lain di
luar ruangan yang masih asyik membicarakan calon ketua osis baru. Yang
ia pedulikan hanya apa yang sedang ditulisnya.
"Lemparkan sini Al!"
Sontak perhatiannya teralihkan begitu mendengar suara yang cukup keras
mengusiknya. dengan segera ia memfokuskan titik fokus matanya pada
lapangan basket di samping kelasnya karena suara itu berasal dari arah
sana.
Dua orang anak laki-laki yang merupakan teman sekelasnya, kali ini
menjadi penghuni lapangan basket itu. mereka selalu berhasil mengganggu
euoforianya bersama tokoh-tokoh cerpennya. dan ia tidak terlalu suka
itu.
"Yaelah.. malah bengong lagi."
Cepat-cepat ia menunduk begitu menyadari salah satu dari anak laki-laki
itu tengah memandangnya dan melontarkan senyuman kepadanya.
Merasa tidak mendapatkan balasan dari gadis itu., anak laki-laki itu
kembali mendrible bola dan mulai fokus kembali pada permainannya. Gadis
itu selalu begitu, terkesan dingin dan masa bodoh.
"Berapa kalipun kau tersenyum padanya, kau tidak akan mendapatkan respon
yang baik darinya. Kau lupa? Satu-satunya siswa yang lupa caranya
tersenyum di Albider ini hanya dia, gadis berkacamata yang punya gelar
sastrawannya SMA Albider bernama Via?."
Anak laki-laki bernama Alvin itu terkekeh pelan mendengar komentar
temannya yang selalu protes besar-besaran saat ia kepergok tersenyum ke
arah gadis bernama Via yang saat ini duduk sendiri di dalam kelas.
"Ih, ketawa lagi. asal kamu tahu ya! setinggi apapun jabatan keramahanmu
itu, kamu tidak akan pernah bisa membuat dia tersenyum."
Lagi-lagi, Alvin hanya tertawa pelan sambil melempar bola ke arah tiang
ring. Kemudian tersenyum lebar kearah temannya saat bola meluncur dari
ring. "Yang aku tahu, semua orang bisa tersenyum." katanya sambil
mengambil bola yang sudah menggelinding tanpa arah dan berjalan
meninggalkan lapangan. temannya mengikuti.
"Hmm.. baiklah. Aku setuju dengan ucapanmu.”
Gadis itu hanya bisa tersenyum tipis mendengar sama-samar percakapan
singkat anak laki-laki bernama Alvin dengan temannya, Cakka. Seperti
itukah ia di mata tema-temannya? Bahkan ia sendiri tidak tahu kenapa ia
seperti orang yang hidup di satu tempat yang tidak tahu apa itu cahaya
matahari sehingga ia tumbuh menjadi seorang yang dingin dan tidak tahu
apa itu kehangatan.
***
Pandangannya terfokus pada barisan kata dalam novel yang sedang
dibacanya. Ia selalu betah duduk berlama-lama di taman belakang sambil
ngedate sama novel-novelnya seusai jam pelajaran berakhir.
Bau rumputnya yang khas, gesekan daun yang menyimpan irama tersendiri.
Angin sejuk yang mendamaikan. Semuanya selalu sukses membuainya manja.
"Alvin menolak tawaran anak-anak untuk menjadi calon ketua osis."
Sontak ia menghentikan bacaannya begitu melihat segelintir kakak-kakak
kelasnya berjalan jauh di hadapannya. Belum pernah ia sepeka ini
mendengarkan pembicaraan orang lain. Hanya nama Alvin-lah yang selalu
membuatnya repleks melepaskan segala aktivitasnya.
"Iyalah! Baru juga satu minggu yang lalu dia dapat jabatan kapten tim
basket. Mana mau dia jadi ketua osis juga. Bayangin aja! Baru jadi
kapten tim basket aja namanya sudah melanglangbuana. Apalagi ditambah
dengan gelar ketua osis?"
"Baik, pinter, ramah, famous, kebanggaan para guru, kapten tim basket, tampan pula!"
"Mr. Perfect."
Perlahan obrolan anak-anak itu menghilang seiring jarak yang semakin
jauh memisahkan. Ia menutup novelnya. Sedikit membayangkan wajah itu.
Sesungguhnya ia selalu merasa bahagia saat mengingat nama Alvin.
"Vi! Lihat anak-anak basket latihan yuk!" seseorang menepuk pundak Via.
Membuat ia kaget dan repleks berbalik, memastikan siapa orang yang
mengagetkannya. Agni, temannya dengan cengirannya memandang Via.
"Hm.. Nggak ah! Kamu aja!" Via berdiri dari duduknya dan berlalu meninggalkan Agni.
Agni menarik nafas panjang melihat tingkah temannya yang satu itu. Ia
heran kenapa Via bersikap acuh dengan segala sesuatu yang ada di
sekitarnya selain buku dan pulpen.
Via berjalan sendiri di koridor sekolah. Suara derap kakinya begitu
jelas menggema gendang telinganya. Karena rupanya sekolah yang sudah
sepi membuat indera pendengarannya peka terhadap suara sekecil apapun.
Sebenarnya ia ingin melihat anak-anak basket latihan. Namun ada satu hal
yang membuatnya selalu menolak ajakan temannya untuk itu. Ia hanya
tidak ingin membiarkan hatinya terjun bebas untuk merasakan itu lebih
dalam.
'Kenapa Via? Tidakkah engkau ingin melihatnya sebentar saja?' pikir Via
masih terus berjalan dan tak memberikan kesempatan untuk kakinya balik
kanan dan pergi ke lapangan basket.
Namun, belum sempat Via memikirkan itu baik-baik ia sudah melihat
sesosok Alvin berdiri di hadapannya lengkap dengan kostum basketnya.
Via melangkah ke samping kiri. Tapi, entah kenapa Alvin merasa ada
sesuatu yang menariknya ke samping kanan, seolah-olah tak memberi jalan
untuk Via. Ia segera melangkahkan kakinya ke samping kiri. Naumun bukan
melangkah maju, Via malah mengikuti langkah Alvin. Membuat mereka tampak
seperti kedua kutub magnet yang saling berlawanan.
"Maaf," ujar Alvin akhirnya, berdiri di hadapan Via.
Via ikut diam. Dengan sangat rinci ia menatap wajah Alvin yang masih
belum melepaskan senyumannya. Tiba-tiba saja ia merasa nada-nada mayor
beraksi dalam dadanya. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat.
"Gak ke lapangan basket?" tanya Alvin lebih ramah.
Via menggeleng dan kembali berjalan tanpa mempedulikan Alvin yang masih
heran melihat gadis antisosial yang membuatnya selalu merasa berada di
ruangan yang penuh dengan udara-udara keingintahuan. Dengan sedikit
senyuman, Alvin segera berlari menuju lapangan basket.
Setelah memastikan Alvin sudah tidak terlihat lagi. Via duduk di beranda
kelas, meletakan tangannya di dadanya yang masih belum menemukan nada
minor. Ia tersenyum menyadari satu hal yang tiba-tiba bergejolak dalam
hatinya.
***
"Hh..hh..hh.."
Alvin berusaha mengatur nafasnya yang timbul tenggelam satu persatu. Ia
sandarkan tubuhnya di tiang ring. Menyaksikan satu persatu para penonton
yang didominasi kaum hawa itu meninggalkan area lapangan. Ia tahu
latihannya kali ini sungguh berantakan. Berkali-kali ia melakukan
kesalahan dan ditegur oleh pelatih.
"Apa sih yang kamu fikirkan Al?" tanya Cakka menyerahkan satu botol air mineral.
Alvin menerimanya. Nafasnya masih tak beraturan. "Gak tahu." jawabnya
sambil berdiri, membereskan barang-barangnya dan bergegas meninggalkan
lapangan.
Cakka hanya bisa menatap punggung Alvin bingung. Ada yang aneh dari
gerak- gerik sahabatnya itu. "Al! Cerita dong kalau punya masalah itu."
Setelah cukup lama tertegun, akhirnya Cakka berlari menyusul Alvin yang
sudah agak jauh darinya.
"Aku hanya berfikir. Aku belum bisa menjadi orang baik." kata Alvin saat Cakka sudah berjalan di sampingnya.
"Maksud?" tanya Cakka tak mengerti.
"Kamu kan nanya, apa yang sedang aku fikirkan. Ya, yang aku fikirkan itu." jawab Alvin gemas.
Cakka menaikan satu alisnya. "Selama ini orang-orang bilang kamu manusia
berhati malaikat yang bahkan tidak tahu caranya marah. Kenapa masih
mikir kamu orang jahat?"
Alvin tersenyum mendengar pujian Cakka. "Yang aku fikirkan adalah
kebaikan di mata Tuhan, bukan kebaikan di mata manusia. Pandangan Tuhan
tidak sepicik pandangan manusia. Baik menurut Tuhan pasti baik menurut
manusia. Tapi, baik menurut manusia belum tentu baik menurut Tuhan."
cerocos Alvin, kali ini sambil berjalan mundur dan memandang Cakka
serius.
"Alvin! Awas!" teriak Cakka begitu sadar seseorang tengah berdiri di samping mading sekolah.
Kurang beruntung. Alvin berhasil menabrak seorang gadis yang sedang
asyik membaca mading dan memaksa tubuh gadis itu menempel di kaca
mading.
"Maaf!" ujar Alvin repleks.
Gadis yang rupanya Via itu, memandang Alvin datar. Dan tanpa banyak kata, ia langsung pergi meninggalkan Alvin dan Cakka.
"Satu hal yang harus kamu ingat Al! Seberapa perfect-nya kamu, gadis manapun gak akan suka sama laki-laki yang jalannya mundur."
Alvin tak merespon ucapan Cakka. Ia lebih sibuk menatap mading sekolah. Cakka mengikuti arah pandangan Alvin.
"Uiiih.. Kapten tim basket Albider, calon ketos juga nih.."
"Ini apa-apaan?" protes Alvin menatapi foto berserta namanya terpampang
di balik kaca mading bersama puluhan calon ketua osis lainnya.
"Sabar sob! Orang baik pasti bisa menerima kenyataan. Lagian ini bira
dijadikan media untuk meningkatkan jabatan kebaikanmu di mata Tuhan."
Kata Cakka bijak melihat ekspreri Alvin yang sudah kusut. Ia tahu
temannya yang satu itu tidak terlalu respek terhadap osis.
Alvin tertegun. "Hm.. Baiklah, aku setuju dengan ucapanmu." kata Alvin copy-paste perkataan Cakka tempo hari.
"Gak kreatif!" komentar Cakka.
Alvin hanya nyengir mendengarnya.
***
Entah apa yang membawa mereka duduk berdua di ruangan para pejabat
sekolah dengan tugas-tugas dan tanggung jawab yang sebenarnya tak mereka
inginkan.
Keadaan sunyi. Karena tidak mungkin ada percakapan jika di ruangan itu
hanya ada Alvin dan Via. Mereka larut dalam pekerjaan masing-masing.
Alvin yang merasa kurang nyaman dengan kebisuan itu, sesekali memandang
Via yang masih asyik dengan laptopnya
"Apa kau akan terus mengacuhkanku, Via?"tanya Alvin memecahkan keheningan.
Via memandang Alvin sekilas, kemudian kembali fokus pada laptopnya. Tanpa bicara sedikipun, tanpa senyum segorespun.
Alvin menghela nafas. Menatap Via. Ada banyak pertanyaan yang bersarang
dalam otaknya. Yang ia tahu, Via bukan gadis bisu yang tidak bisa
bicara. "Baiklah, tak seharusnya aku bicara dengan orang sepertimu."
kata Alvin dengan nada pura-pura kersal.
"Alvin!" panggil Via lembut begitu Alvin beranjak dari duduknya. Hendak
meninggalkan ruang osis. "Bantu aku menyelesaikan ini!" pintanya.
Alvin tersenyum dan berjalan mendekati Via. Mengamati layar laptop. "Apa yang harus aku bantu?" tanyanya.
Via memegang mouse dengan maksud memperlihatkan bagian mana yang belum
ia selesaikan. Tapi, sebelum tangan itu bergerak, ia sudah merasakan
sebuah sentuhan di atas punggung tangannya. Membuat tatapan keduanya
berhenti pada satu titik. Tiba-tiba saja mereka merasa nada detakan
jantung mereka berpacu dengan sangat cepat.
"Maaf!" Alvin cepat-cepat menarik tangannya.
Via tertunduk.
Alvin tertegun. Tidakkah Via mampu mengucapkan sedikit kata untuk
menerima maafnya? Bukankah setiap kali ia mengucapkan kata maaf, tak ada
satupun yang Via respon?
"Kenapa kau menjadikanku sekretaris?" tanya Via sama sekali tidak sesuai dengan arah pembicaraan mereka.
Alvin tersenyum. "Karena aku ingin mengenalmu lebih dekat, nona
sastrawan!" godanya masih tak melepaskan senyumannya yang membuat Via
semakin terpesona dibuatnya. "Aku bisa saja menjadikanmu pengurus mading
sesuai keinginanmu. Tapi, sepertinya ketua osis SMA Albider ini
membutuhkanmu."
"Kenapa kau ingin mengenalku lebih dekat?" tanya Via kemudian.
Alvin diam sejenak. Mengamati Via dengan seksama, membuat Via salah
tingkah dipandang dengan pandangan aneh oleh Alvin. "Kamu minus Vi?"
Alvin mengalihkan pembicaraan.
Via membenarkan kacamatanya, lalu menggeleng.
"Hm.. Silindris?"
Via menggeleng kembali.
Alvin semakin serius mengamati gadis itu. Ia tidak mengerti. Sungguh tak mengerti.
Keadaan hening.
"Tahu gak Vi? Sepertinya kau lebih cantik jika kacamata itu tidak
menghalangi mata beningmu. Hm.. Dan oleskan sedikit senyuman di
wajahmu.!"
Dan seperti keajaiban yang turun memenuhi sudut-sudut ruang osis saat
sebuah senyuman tersungging di bibir tipis Via. Untuk pertama kalinya
senyuman itu Alvin lihat setelah sekian lama ia tunggu.
Tanpa kata. Alvin membalas senyuman itu. Senyuman tulus yang selalu
Alvin berikan kepada siapapun. Dan ruangan itu terlihat begitu hidup.
Meski mereka tidak tahu, bahwa senyuman itu mewakili satu rasa dalam
hati masing-masing.
***
Apa yang membawanya duduk disana bersama anak-anak lain dan berusaha
menutup telinga hanya untuk menghindari kerusakan gendang telinga karena
teriakan dan yel-yel untuk para jagoan kedua tim itu begitu keras
memenuhi lapangan basket.
Pandangannya tak lepas dari sesosok kapten tim yang saat ini begitu
sibuk merebut bola dari lawannya. Ia tersenyum melihatnya. Dan belum
pernah ia sebahagia saat ini.
"Vi!" panggil Agni memandang Via yang duduk di sampingnya.
Via tak merespon ucapan Agni. Ia lebih asyik memandang Alvin yang saat
ini berdiri di tengah lapang. Nafasnya terengah-engah. Membiarkan lawan
mainnya melewatinya tanpa permisi. Dan ia sepertinya tidak peduli dengan
itu.
"Al! are you ok?" Cakka menepuk pundak Alvin.
Alvin menoleh. "Ya! I'm fine Kka." Ucapnya masih mengatur nafasnya dan
kembali mengejar bola di tangan lawannya setelah memastikan nafasnya
cukup stabil.
Agni yang mengikuti arah pandangan Via, tersenyum sendiri begitu
menyadari satu hal yang membuat temannya itu mengalami revolution
changed. "Ehm.. Sepertinya Alvin bikin kamu cuek sama aku nih.."
komentar Agni dengan nada menggoda.
Via mengalihkan pandangannya pada temannya itu. "Alvin lagi sakit ya Ag?" tanya Via lagi-lagi keluar dari alur pembicaraan.
"Hadeuh.. Bu Sekretaris mulai khawatir nih sama atasannya.." goda Agni
lagi. Via tertuduk untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Apaan sih Ag?"
***
Lihatlah! Sejauh mata memandang, terlihat ladang ilalang tumbuh subur,
meliuk-liuk setinggi lutut. Bergerak-gerak tertepa angin. Mengajak Alvin
dan Via bergabung bersama mereka.
Via berlari mengarungi lautan ilalang itu. Merasakan arah angin sore
yang menyibakan rambut dan baju putihnya. Ia berputar dan berputar.
Menari bersama sang ilalang.
"Kau suka tempatnya?" tanya Alvin begitu sampai di dekat Via.
Via menghentikan aksinya dan tersenyum menatap Alvin. Kemudian
menghempaskan tubuhnya diantara para ilalang itu. Mengeluarkan sesuatu
dalam tasnya. "Aku suka tempatnya, dan tokoh dalam cerpenku harus
merasakan, betapa indahnya tempat ini." ujarnya mulai fokus menatap
layar laptopnya.
Alvin duduk di samping Via. Tersenyum simpul mendengar perkataan gadis itu.
"Via! Izinkan aku menyayangimu!" papar Alvin membuat Via secara
tiba-tiba merasa seperti baru saja kutukan malin kundang berpindah
posisi padanya. Ia membatu dan tak mampu mengatakan apapun. Sejujurnya
ia ingin Alvin me-reply kembali ucapannya.
"Vi!" panggil Alvin lagi.
Via menatap Alvin lebih serius. Tatapannya menyembulkan rasa gugup dan
tak percaya. "Kamu sakit ya Al? Kok pucet?" Via bertanya saat melihat
wajah Alvin yang sudah tampak pucat. Walaupun sebenarnya untuk
mengalihkan pembicaraan.
"Oh ya Vi! Kalau kamu baca sebuah kisah. Kamu suka akhir yang mana? Sad or Happy?"
"Kalau kamu?"
"Ya Happy-lah Vi."
"Aku lebih suka sad."
"Lho?"
"Karena dengan sad ending kita akan belajar satu hal. Bahwa tak selamanya yang kita miliki akan jadi milik kita!"
Alvin mengangguk mengerti.
Dan setelah itu mereka mulai larut dalam diam. Memilih menikmati suasana di sekeliling mereka.
"Vi, pulang yuk!" ajak Alvin tiba-tiba.
Via menoleh dengan cepat. Mengamati wajah pucat Alvin yang sudah dihiasi
rona-rona merah padam dan keringat dingin. Ia terlihat menahan sakit.
"Kamu kenapa Al?" tanya Via cemas.
Alvin menarik nafas sebelum bicara. "Pusing."
"Ya udah kita pulang!" Via membantu Alvin berdiri. Sedikit kaget begitu merasakan hawa dingin di tubuh Alvin.
Entah kenapa tiba-tiba saja seluruh objek yang ada di sekitarnya
berbayang. Berputar-putar dengan sangat cepat. Membuat kepalanya
berdenyut sakit. Perutnya terasa mual dan ingin muntah. Sebelum akhirnya
sebuah cairan berwarna merah kecokelatan keluar dari lubang hidungnya
seiring kegelapan yang menyerang sudut matanya.
"Alvin!"
***
Katakanlah ia tak suka berada di tempat ini bersama bau obat-obat kimia
yang menyengat indera penciumannya. Dengan orang-orang berseragam putih
yang berlalu lalang di hadapannya. Namun, melihat orang yang kini ada di
dalam ruang pucat itu membuat semua fikiran buruk tentang tempat itupun
hilang begitu saja.
Seperti malam ini. Entah kenapa ia berani duduk sendiri di beranda rumah
sakit. Mencoba mencari hawa-hawa positif. Karena rupanya beberapa hari
ini, segenap hatinya dipenuhi aura negatif. Dan ia tidak menemukan itu
sama sekali.
"Vi!" Alvin duduk di samping Via.
"Hei! Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Via kaget dengan kehadiran
Alvin di sampingnya. "Ayo masuk! Udara malam gak baik untukmu. Apalagi
kamu hanya mengenakan pakaian rumah sakit yang tipis itu." komentarnya.
Alvin tersenyum dan itu selalu sukses membuat Via diam.
"gak apa-apa."
"Gak apa-apa gimana? Kamu udah kaya mayat hidup tahu."
"Hm.. Sejak kapan kamu bawel seperti ini?"
Via tertunduk. Ia pun tidak tahu apa jawaban yang tepat. Ia menatap mata
Alvin yang tampak sayu. Mencoba mencari celah untuk membaca apa yang ia
rasakan kali ini. Meski pada akhirnya tak bisa ia baca.
"Kenapa Vi? Apa karena aku penting untukmu? Atau karena..." ucapan Alvin terpotong.
"Karena aku sayang kamu! Tak ada alasan lain." Via tertunduk. "Jadi,
jangan tinggalkan aku! Jangan pernah mencoba menjauh dariku!" pintanya
lirih.
Alvin menarik nafas panjang. Ucapan gadis itu sungguh-sungguh
menyesakkan dadanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Lidahnya
tiba-tiba kelu. Bahkan ia tidak tahu apa yang akan terjadi di detik
selanjutnya setelah ini. "Vi! Jika waktuku memang tidak bisa di
perlambat untuk pergi, aku minta maaf Vi! Maaf karena aku memaksamu
masuk ke dalam kehidupanmu. Memberikan harapan kosong padamu. Dan tolong
respon maafku kali ini." jelas Alvin mengingat sejak dulu Via tidak
pernah merespon maafnya.
Via meluruskan pandangannya. Tak berani menatap Alvin lebih dalam.
Karena semakin lama tatapan itu beradu, semakin dalam jurang ketakutan
yang ia pijaki. "Kamu tidak pernah melakukan kesalahan padaku. Kamu
terlalu baik untuk meminta maaf padaku, Dan kalaupun kamu memang tidak
bisa menemaniku. Aku tidak akan menyalahkanmu."
"Jangan bilang kau akan menyalahkan Tuhan! Karena yang seharusnya
disalahkan adalah kenapa kamu memilih sad ending? Hehe.." canda Alvin.
"Ih Alvin.. Aku kan milih sad end bukan untuk kisa kita!"
"Hehe, entar cerpennya dibuat happy ya? Lagi pula, aku yakin kamu udah
belajar banyak dari kisah-kisah sad end itu! Kalau tak selamanya yang
kita miliki tidak akan menjadi milik kita."
Via tertegun. Lalu mengangguk.
Keadaan mulai hening selama beberapa saat. Sebelum akhirnya, Alvin beranjak dari duduknya. Menjauhi Via.
Dan Via tetap bergeming. Tak mampu melakukan apapun. Tubuhnya seperti
ditimbun suhu dingin dengan minus beberapa derajat. Tak mampu bergerak
sama sekali. Ia menatapi punggung Alvin yang semakin menjauh. Dadanya
begitu sesak. Bahkan cairan bening itu mengalir tanpa ia undang saat
bayangan sosok itu semakin lama semakin buyar ditelan satu titik cahaya.
Dan ia mulai sadar, bahwa jiwa itu telah pergi, jauh meninggalkan
raganya yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan
berbagai kabel yang melilit tubuhnya. Dan garis lurus di layar komputer
itu memberitanda bahwa Alvin benar-benar sudah kehilangan detak
jantungnya.
Via terkulai lemah. Ia sandarkan tubuhnya di dinding. Ternyata ini tak
semudah kisah sad ending yang selama ini dibuatnya. "Aku benci sad
ending! Kenapa akhir itu harus menghampiriku?"
Via tekuk mukanya pada kedua lututnya. Membiarkan bajunya menyerap
cairan bening yang tak kuasa ia hentikan. Ia sadar bahwa tak ada lagi
orang yang bisa ia lihat di ruangan Osis, lapangan basket, maupun
Albider. Tak akan ada lagi orang yang selalu sukses membuat kaum hawa
tergila-gila padanya. Tak ada lagi dia yang mereka bilang perfect
padahal di balik kesempurnaan itu terdapat satu raga yang begitu rapuh.
Dan orang itu Alvin, laki-laki yang ada di hatinya selama ini. Meskipun
baru beberapa minggu hatinya didekap hangat oleh sosok itu